Jumat, 11 Maret 2011

Tugas_5

universitas gunadarma


KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Biasanya di negeri ini berbagai wacana semacam posmodernisme, liberalisme, dan multikulturalisme ini hanya menjadi riak-riak belum menyentuh perdebatan yang lebih serius, khusunya dalam public discourse. Maka adalah penting untuk mengangkat discourse multikulturalisme ke dalam konteks dan situasi indonesia. Meskipun demikian, diperlukan juga sikap kritis. Sebab konsep ini tidak lahir dari sejarah masyarakat Indonesia. Multikulturalisme muncul dari sejarah sosial politik negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan lain-lain.Negara-negara yang berhadapan dengan isu rasialisme dan kaum imigran. Isu-isu rasialisme ini menjadi perrsoalan yang lebih luas karena hubungan antar ras dan antar nation meimbulkan problem tertentu yang tidak hanya bisa diatasi dengan pola-pola agenda pembangunan yang sudah dimiliki oleh negara-negara menghadapinya. Jadi multikulturalsme muncul ketika satu wadah nation-state menghadapi pergolakan internal dari dalam. Pergolakan yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok yang masih mengikatkan dirinya dengan semangat-semangat primordial.
Problem multikulturalisme menjadi semakin parah ketika kebijakan nasional membawa isu nasionalisme yang cenderung memaksakan integrasi nasional. Proses pemaksaan ini sebenarnya berakar dari gagasan-gagasan kaum libertarian yang secara filosofis patut dipersoalkan, karena ikut andil dalam proses integrasi dan homogenisasi kultural. Proses homogenisasai inilah yang menjadi problem mendasar di berbagai tempat.
Gagasan multikultural ini kian terancam pasca peristiwa 9/11 ketika politik di berbagai negara cenderung ke kanan. Yakni ke arah fundamentalisme pasar yang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang mempercayai bahwa individu adalah sosok yang karaktertistik partikularnya bisa diksampingkan. Sebuah paham individualisme universival yang melihat individu-individu secara seragam. Artinya, setiap orang punya kesetaraan sebagai warga negara. Kesetaraan ini tidak hanya pada wialayah politik dan ekonomi, tapi juga memuat kesetaraan kultural. Gagasan kesetraan kultural inilah yang sudah lama dikampayekan oleh kalangan libertarian, termasuk dalam penyusunan deklarasi PBB. Saat ini hal semacam ini telah ditentang oleh kelompok-kelompok yang memperjuangkan indigenus people.
Di Indonesia, problem homogenisasi dan penyetaraan ini sangat serius, sebab sejak Orde Baru lahir kita menjumpai bahwa proses interaksi dan kontestasi antar kekuatan telah dimusnahkan dan kemudian diganti dengan gerakan kebudayaan yang tunggal alias satu arah. Sebuah strategi kebudayaan yang pada intinya adalah membawa setiap gerak perubahan kebudayaan indonesia ke dalam akselerasi pmbangunan. Pembangunan, tentu saja, memakai paradigma modernisasi yang pada gilirannya membawa implikasi buruk pada kenytaan multikultural indonesia. Selain lenyapnya kekuatan-kakuatan populis, pasca perisatiwa 65 juga ditandai dengan punahnya kebebasan mengekspresikan identitas kultural. Atau paling tidak terjadi marjinalisasi luar biasa terhadap berbagai kelompok masyarakat.
Dalam konteks hubungan antara paradigma pembangunan nasional dan multikulturalisme titik bahayanya adalah ketika paradigma pembangunan membawa proses bukan hanya regulasi penyeragaman sosial politik, namun juga pada penyeragaman kultural- keagamaan. Ada kebijakan-kebijakan yang dengan sengaja ingin agar masyarakat indonesia yang begitu beragam hanya punya lima agama. Negara dengan sengaja melakukan proses pemberadaban dengan mengagamakan masyarakat yang mesti memilih lima agama yang ”disediakan” negara. Masyarakat sudah dikotak-kotakkana menjadi lima agama tersebut. Dan proses-proses seperti itu menimbulkan hegemoni yang luar biasa. Begitu agresifnya, kebijakan ini juga melibatkan aparatus militer. Di bebarapa tempat kita jumpai penyeragaman dan pemaksaan komunitas lokal yang punya identitas kultural di luar arena lima agama yang disodorkan negara. Dan dalam proses stadardisasai kebudayaan, budaya-budaya tersebut kehilangan ruang ekspresinya karena dia dengan senagaja dimatikan sembari lantas dihidupkan kembali dengan citra yang dinilai sejalan dengan pembanguanan nasional. Tradisi-tradisi semacam itu ada di TMII atau dalam karnaval-karnaval agustusan. Itu bukan parade kesenian rakyat, tapi parade yang dibentuk ulang oleh negara yang seolah menggambaran kebhinekaan. Padahal, sesungguhnya itu merupakan penyeragaman, karena segala sesuatunya telah disesuaikan dengan citra dan selera negara.
Dalam konteks inilah maka dalam mengembangkan gagasan tentang multikulturalisme kita harus menyikapi kembali secara kritis seluruh regulasi dan peraturan yang dilahirkan Negara Orde Baru yang sampai kini masih berlaku dan mengakar. Kalaupun ada perubahan, hal itu tidak signifikan. Misalnya revitalisasi kelompok adat yang sebetulnya belum benar-benar mampu keluar dari wilayah hegemoni negara. Karena 30 adalah masa yang pajang. Dan kesuksesan Orde Baru bukanlah pada pemaksaan fisik, tapi pada dominasi di tingkat gagasan atau hegemoni. Orde Baru tidak hanya dibangun melalui dominasi aparatus negara tapi juga hegemoni lewat berbagai hal. Misalnya lewat film, lewat pendikan moral pancasila, dan lain-lain. Pola-pola seperti inilah yang sulit dibalik kembali kalau tidak ada upaya sungguh-sungguh dalam membangun diskursus baru tentang keindonesiaan.
Salah satu hal mendasar dalam konteks pengembangan multikulturalisme adalah melacak lebih jauh lagi tentang proses pasca 65. Tragedi 65 tidak hanya mengakibatkan ribuan atau jutaan korban di ladang pembantaian, tapi juga terbentuknya formasi-formasi sosial ekonomi yang membangun hubungan fundamentalisme pasar dengan proses pembentukan identitas nasional. Jadi identitas nasional tidak bisa lepas dari formasi sosial yang berparadigma fundamentalisme pasar atau liberal itu. Misalnya, dalam wilayah hukum ada soal penanaman modal asing. Kebijakan itu diluncurkan bersamaan dengan pola-pola regulasi lain. Ketika penanaman modal asing digulirkan, hal itu diawali dengan pembasmian kelompok komunis. Dalam proses selanjutnya ada regulasi di bidang kebudayaan, yang mengakibatkan kelompok-kelompok yang dulu bebas mengekspresikan identitas kuluturalnya menjadi terbungkam. Maka agama di indonesia sebenarnya turut bertanggung jawab atas terbunuhnya masyarakat indonsia yang multikultural.
Setiap budaya memang harus dibiarkan mengekspresikan identitas kulturalnya. Namun, titik kritisnya adalah ketika dalam ajaran kelompok minoritas tersebut melakukan penindasan pada anggotanya. Maka problemnya adalah bagaimana bisa mencari titrik temu antara kebebasan libertarian yang diatur negara dengan kebebasan kelompok untuk mengatur kaumnya sendiri. Ini emang problematis. Misalnya, ada kelompok atau komunitas yang dianggap punya adat yang menindas perempuan. Tapi dalam konteks multikulturalisme, titik ini sejatinya bisa dijembatani melalui perdebatan publik. Maka suatu kelompok partikular mestinya punya perwakilan atau representasi pemerintahan. Pada titik ini, maka demokrasi mestinya tidak hanya dikembangkan dalam level legal-formal. Harus ada ruang publik yang lebih sehat untuk mengatasi kesenjangan kelompok yang beragam. Di sinilah pentingnya mengembangkan demokrasi substansial di negeri ini.
Kebijakan moneter
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. [1]
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
  1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
  1. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
  1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
  1. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
  1. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
  1. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing – masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiscal. Menurut Mohamad Ikhsan, (http://majalah.tempointeraktif.com) negara-negara yang tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru ini-ini sepakat mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari produk domestik bruto untuk memulihkan perekonomian dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar